Rabu, 15 Oktober 2008

Bertahan ala Peternak Malang

Bertahan ala Peternak Malang

Sepanjang 2007, harga telur statis, biaya pakan melambung. Meski kelabakan, peternak petelur tetap berupaya agar ayam-ayamnya tetap berkotek.



Peternak yang ciut nyali bisa jadi akan menutup kandangnya untuk tidak beternak lagi tahun ini. Pasalnya, harga telur di tingkat peternak tidak kunjung naik, sementara harga pakan melambung gila-gilaan. Kondisi ini akan menyeleksi secara alami para peternak ayam petelur. “Hanya mereka yang serius menekuni usaha ternak petelur akan survive,” ungkap John Miftah Ahmad, Territory Manager Cargill Animal Nutrition, area Malang, Jatim.

Menurut John yang membina peternak di Malang, usaha keras peternak untuk mengefisienkan peternakannya akan terlihat dalam kondisi kritis semacam ini. Peternak yang mengelola farm sekadarnya jelas akan sulit bertahan. Padahal populasi ayam petelur di daerah tersebut tak kurang dari 1 juta ekor.


Jangan Utak-atik Komposisi

Lonjakan harga pakan sangat signifikan menaikkan biaya pakan. Biaya pakan mengambil porsi hampir 80% dalam budidaya ayam petelur. Selain itu pakan juga memegang peranan penting dalam produksi ayam petelur. “Feed Conversion Ratio (rasio konversi pakan/FCR) 2,5—2,8. Artinya, untuk menghasilkan 1 kg telur paling tidak butuh 2,5—2,8 kg pakan,” jelas John yang memasok konsentrat area Malang hampir 800 ton per bulan.

Utak-atik komposisi pakan ternyata tidak selalu merupakan jalan keluar untuk efisiensi. “Jangan utak-atik komposisi pakan,” saran H. Abdul Azis, peternak ayam petelur di Patokpicis, Wajak, Kab. Malang. Mengubah komposisi pakan, menurut dia, akan mengganggu produktivitas ayam. Jadi, lebih baik komponen lain, seperti pemberian vitamin dan antibiotik.

Selain itu dia berharap, lonjakan biaya pakan bisa diimbangi dengan harga telur. “Paling tidak, harga telur di atas Rp8.500 per kilo,” hitung Azis yang membina 30 plasma peternak dengan populasi 100 ribu. Produsen bibit ayam, lanjut dia, juga seharusnya menahan diri untuk tidak mengobral keluarnya bibit agar populasi tidak jenuh.

Lain lagi pemikiran H. Sukardi, peternak ayam petelur di kawasan Kidal, Tumpang, Kab. Malang. “Kualitas pakan harus diperbaiki untuk mengejar produksi,” tegasnya. Komponen pakan ayam petelur terdiri kosentrat produksi pabrik pakan, jagung, dan bekatul lokal. Dan komposisi itu sudah baku, tidak bisa diutak-atik lagi karena bisa berakibat menurunkan produksi. Berdasar pengamatannya, harga konsentrat melambung hampir 30% sepanjang 2007. Kalau harga jagung lokal murah biaya pakan baru bisa ditekan. Sayangnya, harga jagung juga melambung.


Efisienkan Tahapan Produksi

Untunglah, kondisi yang sulit tersebut tidak membuat H. Sukardi kekurangan akal untuk mengutak-atik produksi ayam petelur meskipun masih seputar pemberian pakan. “Lebih baik lagi mengefisienkan tahap produksi,” ungkap H. Sukardi yang mempunyai 50 plasma dengan total populasi 100 ribu.

Menurut bapak yang beternak sejak 1999 tersebut, peternak harus benar-benar jeli mengikuti proses produksi. Pertama, seleksi ayam produktif lebih awal dan ketat. Biasanya seleksi baru dilakukan umur 15 bulan, sekarang lebih awal, umur 8 bulan. Hasilnya, setiap 1.000 ekor ditemukan hampir 70 ekor yang tidak produkif. Jika dibiarkan sampai bulan ke-15 baru diseleksi, berarti peternak memberi pakan 70 ayam yang tidak produksi selama 7 bulan.

Selanjutnya, cara pemberian pakan juga harus tepat. “Jangan sampai pakan kocar-kacir,” kata H. Sukardi. Jumlah pakan yang tumpah dan mubazir ini jangan dianggap enteng. Bila mencapai 5 gram saja yang tumpah dari tiap ekor, dengan populasi 1.000 akan ada 5 kg pakan terbuang. Padahal biaya pakan mencapai Rp2.750 per kilo. Kalau populasi sudah mencapai ratusan ribu, itu jelas pemborosan yang bisa diatasi.

Selain itu pemberian vitamin dan antiobik dikurangi. Bila biasanya diberikan satu minggu sekali sebagai tindakan pencegahan penyakit, kini lakukan 3 minggu sekali atau kalau ada kasus. Sedangkan vaksin tetap diberikan sesuai jadwal. Tindakan Sukardi tampaknya berisiko tetapi ia mencegahnya dengan memberikan perhatian yang lebih intensif terhadap kondisi pertumbuhan ayamnya.

Ada lagi yang dilakukan Sukardi, menunda afkir. “Bila kondisi ayam masih produktif, tunda mengafkir ayam sehingga tidak ada dana investasi ayam baru. Tinggal biaya pakan sampai perpanjangan masa produktif,” terangnya. Biasanya umur 75 minggu sudah afkir, dengan perhatian “lebih” bisa sampai 80—100 minggu ayam petelur masih produktif dengan biaya produksi yang lebih murah.

Cara tetap bertahan ala peternak Malang itu patut ditiru. Cukup modal telaten dan sabar sambil berharap beternak ayam petelur masih mampu menjadi sandaran hidup peternak sejati.

Tidak ada komentar: